Fotografer Ini – Di tengah banjir foto-foto Instagram penuh filter, pemandangan luar negeri, dan wajah-wajah polesan editan, ada satu fotografer yang berani keluar dari arus utama. Ia tidak memburu panorama pegunungan atau pantai eksotis. Ia tidak mengejar bintang atau aurora di kutub. Justru, ia menyoroti dapur yang berantakan, wajah ibu yang berkeringat, hingga keran air bocor di sudut rumah. Dan dari situlah, ia berhasil menyentuh emosi yang lebih dalam dari sekadar decak kagum.
Fotografer bernama Arga Prasetya ini tidak bermain aman. Ia menabrak pakem dunia fotografi komersial. Baginya, keindahan bukan soal tempat yang mahal atau cahaya sempurna. Keindahan, menurutnya, adalah tentang keberanian melihat yang sering di abaikan: keseharian.
Wajah-Wajah Nyata yang Tak Minta Di poles
Dalam setiap karyanya, Arga menampilkan subjek tanpa rekayasa. Tidak ada dandanan berlebih. Tidak ada pose yang di buat-buat. Seorang nenek sedang menyapu halaman, anak kecil sedang menangis karena kehabisan es krim, hingga seorang bapak tukang bangunan yang sedang merokok di jeda kerja—semua di abadikan tanpa sensor, tanpa topeng. Dan justru dari ketulusan itulah lahir estetika yang menyentuh.
Ia mengangkat martabat wajah-wajah biasa. Bukan selebritas, bukan model, tapi manusia nyata yang hidup di sekitar kita. Mereka yang jarang masuk media, yang tidak punya ratusan ribu followers, tapi menyimpan cerita yang lebih manusiawi dari sekadar pencitraan. Di mata Arga, kamera bukan alat untuk menipu kenyataan, melainkan jendela untuk menyibak kejujuran.
Benda Mati yang Bicara Lewat Lensa
Uniknya, Arga tidak hanya memotret manusia. Ia juga menyorot benda mati—yang selama ini di anggap tak penting—dengan cara yang memancing tafsir mendalam. Piring pecah di bawah meja makan, sandal jepit berlumpur di depan pintu, hingga kipas angin tua yang menggantung miring. Semua di abadikan dengan framing presisi, pencahayaan alami, dan nuansa warna yang menggelitik rasa penasaran.
Benda-benda ini seolah di beri suara. Lewat komposisi dan sudut pengambilan yang cermat, Arga membuat kita bertanya-tanya: apa cerita di balik cangkir retak itu? Siapa yang terakhir memakai sandal jepit itu sebelum tertinggal di tanah? Karya-karyanya bukan sekadar dokumentasi, tapi percikan narasi yang memaksa kita berpikir dan slot resmi.
Dapur, Gang Sempit, dan Cahaya Sore: Sumber Inspirasi yang Tak Terduga
Alih-alih studio dengan pencahayaan canggih, Arga justru menjadikan dapur sempit rumah petak sebagai tempat favoritnya. Ia menanti momen cahaya sore menerpa dinding kusam, menyorot bayangan panci dan botol sabun cuci piring. Dari situ, terciptalah komposisi dramatis yang tidak bisa di buat-buat. Ia tidak memoles, ia menunggu. Karena baginya, momen adalah raja.
Gang-gang kecil di pinggiran kota pun menjadi lokasi pemotretan yang tak athena168. Bagi fotografer biasa, ini tempat yang harus di hindari. Tapi bagi Arga, inilah surga visual. Tembok lumutan, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, dan jemuran yang bergoyang di tiup angin sore menciptakan koreografi visual yang tak bisa di karang.
Pesan Sosial di Balik Keindahan yang Tersembunyi
Yang paling mengejutkan dari karya Arga adalah pesan yang tersirat. Ia tidak hanya ingin membuat orang berkata “wah”, tapi juga ingin menyentil. Melalui foto-fotonya, ia mengingatkan bahwa kita terlalu sibuk mengejar citra sempurna, hingga lupa menghargai yang nyata. Kita terjebak dalam standar kecantikan, kemewahan, dan pencitraan, padahal keindahan sejati bisa kita temukan setiap hari—jika saja kita mau melihatnya.
Arga bukan fotografer yang mengejar lomba atau pujian. Ia hanya ingin menyampaikan satu hal: bahwa kehidupan ini, seberapa pun sederhana, layak di hargai. Dan kadang, butuh seseorang dengan kamera dan mata jujur untuk mengingatkan kita tentang itu.